"Ikuko-san, pulanglah, Nak. Sudah berbulan-bulan ayahmu tidak pulang. Mungkin ia sedang ada masalah di pekerjaannya. Ibu rindu padamu. Salam kangen. Ibu."
Ikuko mendengus. "Masalah di pekerjaan? Semua orang tahu apa yang dilakukan Ayah. Tidak heran bila suatu saat nanti tiba-tiba muncul seorang bayi mungil yang kelak memanggilku kakak." Diremasnya kertas itu kuat-kuat.
"Ibu memang seorang wanita kuat. Seumur hidupnya diabdikan untuk melayani Ayah dan sekaligus menerima dengan sabar semua perlakuan kasar Ayah," Ikuko terbayang semua yang dialaminya. Ayahnya seorang pegawai rendahan yang suka mabuk-mabukan. Dan itulah salah satu alasan Ikuko pergi meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke Tokyo. Hidup sudah tidak berarti apa-apa lagi di bawah rasa takut akan pukulan ayahnya. Pergi jauh-jauh dari Kyoto, itulah cita-cita Ikuko sejak ia beranjak remaja.
"Apa yang harus kulakukan?" Ikuko memijat keningnya yang seperti ditimpa ratusan ton beton. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada tumpukan buku-buku di atas meja. Buku-buku yang dipinjamkan oleh seorang sahabat di Tokyo Islamic Centre. Buku-buku itulah yang selalu menemani malam-malam Ikuko yang
panjang dan penat setelah seharian bekerja di kantor.
"Perkenalkan saya Ardiansyah dari Indonesia. Saya biasa dipanggil Ardi. Saya mahasiswa pasca sarjana Fakultas Elektro di Keio University dan saya aktif di Tokyo Islamic Centre selepas jam kuliah saya," seorang laki-laki muda berpakaian rapi dan tampak serius menyapa Ikuko ketika tanpa sengaja mereka bertemu di perpustakaan umum. Ikuko sedang mencari buku-buku masakan di sana saat itu.
"Tokyo Islamic Centre? Saya belum pernah mendengar tentang perkumpulan itu selama saya di Tokyo. Maklum saya baru dua tahun berada di sini. Nama saya Ikuko dan saya bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan swasta," jawab Ikuko sambil memandang tumpukan buku-buku yang dibawa Ardi.
Ardi tersenyum sopan. "Tokyo Islamic Centre itu bukanlah sebuah perkumpulan. Tetapi itu sebuah tempat dimana kami, umat muslim beribadah dan mengadakan berbagai kegiatan di sana."
"Muslim?" tanya Ikuko heran. Hampir seumur hidupnya ia baru tahu bahwa ada perkumpulan bernama muslim.
"Ya. Kami beragama Islam dan Islam itu bukan semacam perkumpulan atau organisasi," jawab Ardi sopan.
"Agama Islam? Sepertinya menarik. Sejak kecil saya terbiasa dibawa sembahyang di kuil di Kyoto oleh ibu saya. Walaupun saya juga tidak mengerti apa sebenarnya yang kami lakukan di sana," rasa ingin tahu Ikuko perlahan mulai muncul. "Hmm maaf, apakah Ardi-san sedang buru-buru? Kalau tidak, saya ingin sekali mendengar tentang agama Islam itu."
Dan sejak pertemuan di perpustakaan itu, Ardi menerangkan berbagai hal tentang Islam dan meminjamkan buku-buku agama Islam pada Ikuko. Ikuko sangat bersemangat. Kadang-kadang Ikuko berkunjung ke Tokyo Islamic Centre sambil membawakan berbagai macam makanan untuk Ardi. Ardi dan teman-temannya menyambut Ikuko dengan baik. Ikuko merasa nyaman berada di sana. Satu-satunya tempat di mana ia diterima dengan baik, apa adanya, dan yang lebih penting, tidak ada lagi ketakutan akan pukulan-pukulan ayahnya serta mimpi-mimpi buruk yang kerap hinggap dalam tidurnya.
Ikuko menemukan dunia baru di sana, di tengah para mahasiswa Indonesia yang sedang melanjutkan studi mereka di Tokyo. Selain agama Islam, Ikuko juga belajar bahasa Indonesia. Pernah suatu kali seorang ustadzah muda yang baru datang dari Jakarta bertanya pada Ikuko; mengapa Ikuko tertarik belajar agama Islam. "Orang-orang di perkumpulan ini baik hati dan ajaran di perkumpulan ini baik," jawab Ikuko polos. Saat itu ia masih menganggap Tokyo Islamic Centre itu sebuah perkumpulan.
Tidak seorangpun yang melarang Ikuko menyebut tempat itu sebagai perkumpulan. Dengan sabar, ustadz-ustadz muda di sana mengajari Ikuko berbagai hal. Buku-buku agama Islam bertebaran memenuhi apartemen Ikuko yang kecil di pinggiran Tokyo. Ia masih mencari, tetapi belum mendapat apa yang
dicarinya. Hingga surat lusuh dari ibunya itu mengubah segalanya.
Pulang ke Kyoto adalah mimpi buruk yang menjadi nyata bagi Ikuko. KepergianIkuko ke Tokyo membuat Ibu menjadi bulan-bulanan kemarahan Ayah. Ayah menganggap Ibu tidak becus mengajar anak sehingga Ikuko pergi dari rumah. Belum lagi wanita-wanita dengan parfum murahan yang dibawa Ayah ke rumah.
Membayangkannya saja membuat perut Ikuko mual.
"Pulanglah, Ikuko-san. Kasihan ibumu sangat merindukanmu. Masih ingat apa yang diajarkan Ustadz Ahmad beberapa waktu lalu bahwa kita harus menghormati ibu kita," kata Ardi ketika Ikuko menceritakan tentang surat itu.
"Tetapi aku takut pulang ke Kyoto, Ardi-san. Aku takut aku tidak dapat lagi keluar dari sana dan terperangkap dalam mimpi buruk sepanjang hidupku. Aku tidak dapat lagi bertemu denganmu dan teman-teman di sini. Aku tidak mau surat ini merampas semua kebahagiaan yang ada dalam genggamanku saat ini,"
ujar Ikuko sambil merobek-robek surat itu.
"Allah memerintahkan kita untuk menghormati Ibu sebelum yang lainnya. Ia yang mengandung dan bertarung nyawa melahirkan kita di dunia ini. Paling tidak, ia pantas mendapat sedikit penghormatan darimu, Ikuko," Ardi menghela napas panjang. Ia menatap wajah Ikuko yang berkerut-kerut menahan marah.
"Hanya Allah yang bisa membolak-balik hatinya," bisik Ardi dalam hati. Sudah hampir setahun Ikuko belajar agama Islam di Tokyo Islamic Centre dengan kemauannya sendiri, tetapi sepertinya hidayah Allah belum menyapa gadis itu. Hidayah itu memang mahal.
"Kalau begitu, Ardi-san, mohon temani aku pergi ke Kyoto menjenguk Ibu selama beberapa hari. Bila ada Ardi-san, Ayah tidak akan berani macam-macam dan tidak ada yang bisa menahanku untuk tinggal di sana," itulah keputusan Ikuko malam itu. Dan keesokan harinya, Ardi dan Ikuko sudah berada dalam kereta api yang membawa mereka menuju Kyoto.
Musim dingin sudah menyelimuti Kyoto dengan tirai-tirai putihnya yang sedingin es dan seburam kaca tua. Langit berwarna abu-abu kemerahan ketika Ardi dan Ikuko tiba di pinggiran kota Kyoto. Kuil-kuil berdiri membisu di tengah rimbunan pohon-pohon yang kaku berselimutkan salju. Loncengnya berdentang sekali dua kali memecah kesunyian bagaikan lonceng kematian yang siap mencabut nyawa-nyawa yang berada dalam penjara kesunyian.
Mereka tiba di rumah Ikuko saat senja hampir tiba. Rumah itu sedingin gerimis. Sunyi. Sepi. Sungai kecil yang mengalir di sampingnya turut membeku. Tidak ada seorangpun di beranda. Ikuko membuka pintu kayu dan masuk ke dalam seraya memanggil ibunya. Keadaan di dalam rumah tak kalah dinginnya dengan cuaca di luar. Debu menyelimuti perabot rumah. Ikuko berjingkat perlahan memasuki kamar ibunya. Tak sampai semenit, terdengar teriakan histeris Ikuko.
Ardi segera menerobos masuk ke kamar itu. Ikuko menangis keras di atas tatami lusuh di samping sebuah tilam kusam. Ia menutup wajahnya sambil terus menangis. Di atas tilam itu, Ardi melihat sesosok wanita tua yang hampir mengerut saking kurusnya. Tidak ada tanda-tanda nafas kehidupan dari tubuhnya yang ringkih itu. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un. Ardi mengucap pelan. Sekuntum Al Fatihah perlahan terdengar dari mulutnya.
Bismillahirahmaanirahiim, Alhamdulillaahi Rabbil 'aalamiin, Ar-Rahmaanir Rahiim, Maaliki yaumid diin, Iyyaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin, Ihdinas siraatal mustaqiim, Siraatal ladziina an'amta 'alayhim gayril magduubi 'alayhim wa laddaalliin. Amiin
Ikuko bergetar mendengar ayat-ayat Surat Al Fatihah yang dibaca Ardi. Ia belum hapal ayat itu dan ia masih belum mengerti artinya. Hangat menyelimuti seluruh relung jiwanya. Menerobos masuk ke dalam sudut-sudut kesadarannya yang terdalam. Jalan yang lurus. Jalan itu lurus bersimbah cahaya. Di kiri dan kanannya dan juga di atasnya. Cahaya itu menggenggam jiwa Ikuko erat. Seluruh tubuhnya berguncang. Mimpikah ia? Tidak. Ikuko tidak bermimpi. Cahaya itu ada di hadapannya. Dan kalaupun ia sedang bermimpi, Ikuko tidak
mau bangun lagi. Jalan itu Jalan yang lurus.
"Ardi-san, aku ingin mengucapkannya. Aku ingin masuk Islam sepertimu dan teman-teman di Tokyo Islamic Centre. Aku ingin berada di jalan itu, Ardi-san. Jalan yang lurus," dengan berlinang air mata, kata-kata itu berhamburan dari mulut Ikuko. Ardi tercengang. Berbulan-bulan Ikuko belajar agama Islam di Tokyo, baru saat ini keinginan itu terlontar darinya. Rencana Allah memang seringkali sukar dipahami manusia.
Dan keesokan harinya, setelah pemakaman Ibu yang sederhana, di antara kuil-kuil dingin yang membeku dan di tengah musim dingin yang kian menggigit kota itu, Ikuko mengucapkan dua kalimat syahadat. Ardi menjadi saksi melangkahnya Ikuko ke dalam gerbang cahaya-Nya di hadapan seorang ustadz tua pengurus musholla kecil di pinggiran Kyoto.
"Ashyadu alaa ilaaha ilallahu wa ashadu anna muhammadar rasulullah Hamba bersaksi, bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan hamba bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah"
Sekuntum cinta telah mekar di sana, di negeri sakura yang flamboyan. Saat Sang Cinta memperbolehkan Ardi menghantar Ikuko ke dalam cahaya-Nya yang abadi.
Jakarta, 14 Agustus 2007 at 10.15 p.m.
Dipersembahkan untuk Miki Terada, muallaf DT Jakarta, dengan penuh cinta
Sumber: http://groups.yahoo.com/neo/groups/daarut-tauhiid/conversations/topics/27330
0 komentar:
Posting Komentar