Suatu tantangan dan sekaligus seni sendiri bagi saya untuk menjalankan kewajiban sebagai muslim di negeri sakura yaitu Jepang yang mayoritas beragama shinto dan bahkan sebagian besar rekan kerja seperusahaan mengaku tidak mempercayai adanya Tuhan, ataupun hal gaib. Dengan kecanggihan teknologi yang mereka miliki, menjadikan mereka semakin angkuh dengan kepintaran mereka, itulah salah satu sisi kelemahan mereka. Tapi di balik itu semua, mereka memiliki kebiasaan yang patut dipuji dalam kehidupan mereka. Beberapa contohnya, kebiasaan mereka dengan hal sepele tapi berbobot seperti tidak membuang sampah di sembarangan tempat, bahkan mereka akan membawa pulang sampah mereka sendiri apabila di jalan tidak menemukan tempat sampah, sekalipun itu adalah bekas puntung rokok. Kemudian tidak menyeberang atau melewati lampu merah di lalu lintas walaupun jalan dalam keadaan sepi.
Pernah suatu ketika, seorang teman yang memilki uang yang di sakunya jatuh tercecer di jalan umum yang ramai dengan hiruk-pikuk manusianya, tanpa sepeserpun yang hilang, padahal dalam jumlah cukup banyak setelah seharian di cari yang akhirnya ditemukan di pos keamanan setempat, yang ternyata ada orang Jepang yang menyerahkannya ke pos tersebut...Subhanallah, membuat saya berdecak kagum dengan kebiasaan positif mereka yang benar-benar dijadikan kebiasan sehari-hari dan bukan hanya sekedar teori yang dihafal semata.
Saya pribadipun menjadi malu di hadapan Allah ketika bercermin dengan kebiasaan baik mereka, orang Jepang yang sebagian besar tidak mempercayai adanya Tuhan dengan kebiasaan masyarakatku di tanah air Indonesia yang notabenenya mayoritas Islam tapi kebiasaan masyarakat tidak sesuai sunnah yang di contohkan Rasulullah. Justru di negeri kaum atheis ini saya mempelajari dan membiasakan kebiasaan baik tersebut, dan menjadi tantangan terberat dalam berdakwah di negeri sakura, karena mereka lebih mempercayai hal yang nyata dan terlihat, sehingga mereka selalu membuat perbandingan dengan keadaan Indonesia yang mayoritas muslim.
Tapi ada sisi lain yang tidak dimiliki oleh sebagian besar mereka, yaitu persaudaraan dan kekeluargaan. Salah satu kebiasaan mereka, ketika seorang anak memperoleh pekerjaan, maka putus sudah kewajiban dan hak diantara mereka. Anak akan menjadi mesin penghasil pajak buat pemerintahnya, sedangkan orangtua menjadi asuhan pemerintah di panti jompo. Inilah yang menjadi kekurangan mereka dalam hidupnya jika dibandingkan dengan kita sebagai muslim yang selalu taat dan merawat orangtua sampai akhir hayat. Keharuanpun terjadi ketika ngobrol dengan salah seorang nenek berumur 90 tahun yang tidak pernah bertemu anaknya lagi. Suatu ketika, bertepatan dengan idul Fitri, di mana umat muslim sedunia merayakan hari kemenangan, kamipun kaum minoritas ikut merayakan walaupun hanya sekitar 30 jamaah yang merayakannya. Tapi ada sesuatu yang asing di antara jamaah itu, yaitu kehadiran seorang nenek tua yang pernah saya ngobrol dengan saya sebelumnya. Beliaupun meminta rahasia keakraban diantara kami. sayapun dengan senang hati menjawabnya, kami bersatu dan bersaudara karena sesama muslim. Yang di mana hal itu tidak dapat mereka ciptkan dengan teknologi yang mereka miliki.
Penulis : Abdul Rauf
Bandung
Sumber: Dakwatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar